Ketika Syaqiq tiba di Baghdad dalam perjalanannya menuju Makkah untuk berhaji, Harun ar Rasyid memanggilnya untuk menghadap.
“Apakah engkau yang bernama Syaqiq sang Wali,” tanya Harun ketika Syaqiq datang menghadap.
“Ya, aku adalah Syaqiq,” jawab Syaqiq, “tapi aku bukan wali.”
“Nasihati aku,” perintah Harun.
Syaqiq berkata, “Engkau duduk di tempat Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib. Allah Yang Maha Kuasa menuntut pengetahuan dan keadilan darimu, sebagaimana pengetahuan dan keadilan sang Imam.”
“Nasihati aku lagi,” pinta Harun.
“Allah memiliki sebuah penginapan yang bernama neraka,” ujar Syaqiq. “Dia telah menunjukmu sebagai penjaga pintunya, dan telah melengkapimu dengan tiga hal: harta, cambuk dan pedang. Dia memerintahkan, dengan tiga hal ini, jauhkanlah manusia dari neraka. Jika seseorang datang memohon padamu untuk memenuhi kebutuhannya, janganlah sungkan memberinya uang. Jika seseorang menentang hukum Allah, didiklah dengan cambuk ini. Jika seseorang membunuh sesamanya tanpa hak, kenakan balasan yang setimpal dengan pedang ini. Jika engkau tidak melakukan hal ini, engkau akan menjadi Pemimpin para ahli neraka.”
“Lagi,” pekik Harun.
Syaqiq mengatakan, “Engkau adalah sungai, sedangkan para pembantumu adalah anak sungai. Jika sebuah sungai jernih, maka ia tak akan terkeruhkan oleh anak sungainya. Namun bila sebuah sungai kotor, apa yang dapat diharapkan dari anak sungainya?”
“Lagi… lagi…,” Harun memohon.
Syaqiq melanjutkan, “Misalkan engkau kehausan di tengah padang pasir hingga engkau hampir mati, lalu datanglah seseorang dengan membawa air, berapa yang engkau rela bayarkan untuk seteguk air itu?”
“Berapapun yang diminta orang itu,” jawab Harun.
“Jika orang itu meminta separo kerajaanmu?” tanya Syaqiq.
“Aku akan berikan,” jawab Harun.
Syaqiq bertanya lagi, “Misalkan air yang engkau minum itu tidak mau keluar dari tubuhmu, membuat mu sakit hingga hampir mati, lalu datanglah seseorang yang mengatakan, ‘Aku akan menyembuhkanmu dengan imbalan separo kerajaanmu,’ apa yang akan engkau lakukan? “
“Tentu aku akan memberikannya,” jawab Harun.
“Lalu, untuk apa engkau menyombongkan kerajaanmu, yang nilainya tidak lebih dari seteguk air yang engkau minum dan keluarnya ia dari tubuhmu?” tukas Syaqiq.
Harun pun menangis dan melepaskan kepergian Syaqiq dengan penuh penghormatan.

sumber: Cahaya Sufi Edisi Mei 2007

Categories:

Leave a Reply